Manusia mencari solusi atas suatu masalah juga menggunakan perspektif.  Kadang, suatu perspektif berhasil menemukan solusi, kadang pula  dibutuhkan perspektif lain. Perhatikan lingkaran berikut dan bayangkan  kalau ia sebuah rel kereta api. Dapatkah anda yang berada di dalam rel  berusaha mencapai solusi yang berada di titik pusat lingkaran? Tidak  mungkin? Karena anda berputar-putar? Pikirkan lagi dengan perspektif  berbeda.
Sebenarnya, anda bisa bergerak berputar  pada rel di keliling lingkaran dan tiba di pusat lingkaran tanpa membuat  jembatan dari keliling menuju pusat lingkaran tersebut. Setelah anda  membuat keliling lingkaran, balikkan kertas anda dan buat jalur ke titik  tengah tersebut.
Kadangkala  keterbatasan adalah sebuah ilusi. Kita butuh berpikir dengan perspektif  baru yang kadang tak terduga oleh manusia lain. Manusia modern  dapat dipandang sebagai kelompok manusia yang paling mudah tertipu.  Cobalah lihat gambar berikut. Mana garis yang lebih panjang?
Kedua garis itu sama panjang. Tidak  percaya ukur sendiri. Manusia dalam peradaban “modern” seperti kita akan  memaksakan kalau garis bawah lebih panjang dari garis atas. Studi yang  dilakukan Segall et al tahun 1966 pada beberapa suku di Afrika  menunjukkan kalau suku-suku ini mampu mengenali kalau kedua garis di  atas (yang disebut ilusi Muller-Lyer) adalah garis yang sama panjang.  Suku Shan di Afrika Selatan yang hidup dengan sederhana, bolehlah anda  menyebutnya “primitif” dapat mengenali dengan seketika kalau kedua garis  di atas sama panjang. Ada sebuah hubungan antara semakin mudahnya orang  tertipu ilusi optik dengan semakin kompleksnya gaya hidup manusia  tersebut.
Ada banyak hal menarik  ketika anda mengkaji kehidupan suku-suku primitif di dunia. Filsuf  antropolog van Peursen pernah bicara kalau tahap paling dasar suatu  kebudayaan adalah penuhnya ilusi (mitos) dalam hidup manusia. Beliau  merujuk pada dewa-dewa, animisme, dinamisme, beserta sistem kosmologi  dan kosmogoni yang menyertainya dari berbagai suku primitif di dunia.  Sayang ada satu suku yang memberi paradoks pada teorinya. Suku Piraha  dari lembah Amazon Brasil.
Anggota suku Piraha hanya berjumlah 420  orang sekarang. Mereka hidup tanpa sejarah, tanpa cerita dewa-dewa,  tanpa tuhan, tanpa hirarki sosial, tanpa pemimpin, dan bahkan tanpa  sistem bilangan  kecuali satu dan “banyak”, tanpa nama untuk individu, tanpa nama untuk  jenis kelamin, . Mereka makan ketika dapat, tidak ada istilah menyimpan.  Mereka tidak tahu bagaimana menggambar, ketika diminta menggambar  manusia, hewan, pohon, sungai, mereka hanya menggambar garis-garis.   Pernah antropolog mengabarkan tentang Tuhan, namun ketika mereka  bertanya “apakah kamu pernah bertemu Tuhan?” dan sang misionaris  menjawab tidak, mereka pun tidak percaya dan kehilangan minat.
Antropolog  Daniel Everett menyatakan “Piraha adalah masyarakat yang sangat cerdas  dalam memastikan hidup di dalam rimba: mereka tahu manfaat dan lokasi  semua tanaman penting di hutan mereka; mereka paham perilaku hewan  setempat dan bagaimana menangkap atau menghindarinya; dan mereka dapat  berjalan ke kedalaman hutan telanjang, tanpa alat tanpa senjata, dan  pulang tiga hari kemudian dengan sekeranjang buah, kacang, dan hewan  buruan kecil.”
Suku Piraha dan  suku-suku kecil yang kita sebut primitif mungkin hanya membutuhkan satu  perspektif bersama untuk hidup. Sementara itu, kita hidup dalam  kebudayaan besar berisi lebih dari lima miliar manusia. Kebudayaan kita  menuntut kompleksitas dan menuntut pula beberapa perspektif untuk  menemukan solusi atas hidup kita yang kompleks.
Dalam  dunia seni, hal ini tercermin pada bentuk-bentuk lukisan. Di masa lalu,  kebudayaan zaman batu sering dilukiskan dalam bentuk garis-garis.  Manusia dan alamnya dilukis secara satu dimensi. Ketika peradaban  semakin maju, lukisan manusia mulai memasuki perspektif dua dimensi.  Lihat bagaimana reliefBorobudur atau hieroglif Mesir menggambarkan alam.  Kemudian dalam peradaban Renaissans, lukisan-lukisan memasuki dunia  tiga dimensi. Akhirnya, baru di abad 20 kemarin, Picasso dikatakan  melukis dengan perspektif dimensi keempat dan merayakan lahirnya aliran  lukisan kubisme.
Ya, hidup kita semakin kompleks namun  kita sulit melihat dengan perspektif lain. Hal ini karena dunia  membentuk kotak-kotak standar. Van Peursen menyebutnya operasionalisme.  Kita membuat standar-standar, entah itu standar nasional pendidikan,  standar  perencanaan instalasi listrik, standar berpikir, dan  sebagainya. Kita membuat standar yang akhirnya memenjara kita. Sulit  manusia keluar dari standar. Standar memudahkan kita namun membuat kita  sulit melihat kalau ada yang lebih baik.
Finalisasi  dalam bentuk standar ini juga membuat perhatian kita kadang terlepas  dari substansi dan makna. Ambil contoh standar mengaji atau standar  menjalankan sholat, ritual-ritualnya, kadang kita berprasangka buruk  pada orang lain hanya karena berbeda cara sholat atau cara mengaji. Kita  sibuk memperbaiki diri untuk dapat sholat atau mengaji dengan baik  sesuai standar. Akibatnya, kita kadang lupa apa inti sesungguhnya dari  sholat atau mengaji itu. Ayat dilantunkan demi operasionalisme, tanpa  kita mengerti apa yang kita ucapkan.
Menurut  van Peursen, operasionalisme merupakan efek samping dari alam pikiran  fungsional. Alam pikiran fungsional pada manusia berurusan dengan  “bagaimana?” bukan “apa?” yang mencirikan alam pikiran ontologis. Orang  Piraha mungkin bukan primitif sama sekali, mereka mungkin boleh disebut  masyarakat fungsional murni. Mereka tidak bicara tentang “apa pohon  itu?” tetapi “bagaimana memanfaatkan pohon itu?” Mereka tidak bicara  “apakah alam ini?” tetapi “bagaimana mengelola alam ini?”
Saya  dan istri saya pernah merasakan bagaimana dampak dari operasionalisme.  Ketika kami kos di tempat baru, pintu rumah kos tersebut tidak memiliki  gerendel pintu. Saya membelinya dan berniat memasangnya. Ada gerendel  dan empat buah sekrup serta sebuah penahan slot diberikan oleh penjual.  Saya ingin memasangnya tetapi kebingungan bagaimana memasang gerendel  tersebut. Sekrup yang dipakai tidak terlalu dalam dan penahan slot  letaknya tidak pas. Istri saya bicara bijaksana, “Sayang, kita hanya  butuh gerendelnya” lalu membuang sekrup dan menggantinya dengan paku. Ia  juga membuang penahan slot karena barang itu tidak perlu.
Saat  itulah saya sadar kalau saya terjebak operasionalisme. Sekrup dan  penahan slot adalah komponen standar yang membuat pikiran saya teralih  pada standarisasi tersebut, alih-alih pada tujuan dasar pembelian  gerendel tersebut.
Mungkin banyak  orang seperti saya. Seringkali terjebak operasionalisme dan bergulat  dengannya. Cobalah melihat dengan perspektif lain dan melihat dasar  masalah yang sesungguhnya. Siapa tahu anda menemukan kebijaksanaan.